19 November 2011

Ini tentang kebaikan 6 : Kebohongan


Bismillaahirrahmaanirrahiim...
Ini tentang kebaikan, kebohongan terhadap kebaikan.
Saya teringat sebuah catatan seseorang mahasiswi tentang dunia percontekkan. Dari pengalamannya sendiri mencoba menganalisa beberapa fenomena dan mengekstraknya menjadi sebuah kesimpulan bahwa mencontek merupakan kebohongan terhadap diri sendiri.
Seorang mahasiswa yang memiliki nilai A pada mata kuliah Database seharusnya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik tentang konsep database - kita asumsikan dosen yang mengajarkan memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memberikan materi dan pemahaman - dari pada mahasiswa lain yang memiliki nilai C atau bahkan D, benarkan?
Tapi apa yang terjadi jika ternyata nilai A itu didapat dari hasil mencontek? Tentu pengetahuan dan pemahamannya tentang Database tidak sebaik yang seharusnya. Bisa jadi pemahamannya sama dengan mahasiswa yang memiliki nilai C atau bahkan D. Bisa dibilang ia hanyalah mahasiswa dengan nilai A yang memiliki pemahaman C. Inilah sebuah kebohongan yang mungkin dimaksud dalam catatan mahasiswi tersebut.
Yang diuntungkan adalah si mahasiswa yang mencontek dan mendapatkan nilai A. Lalu jika si mahasiswa berkata, "suka-suka saya dunk, kan yang nyontek saya, ngapain pulak ente yang sibuk?". Maka saya harus meyakinkan anda bahwa hal ini tidak hanya berakibat kepada si mahasiswa saja, tetapi juga berakibat kepada banyak pihak.
Sebagai contoh, jika suatu saat ia dipercaya mengerjakan perancangan database untuk suatu proyek "Sistem Informasi Kependudukan", maka anda akan dapat membayangkan betapa buruk hasil perancangan databasenya. Dan itu akan sangat berpengaruh kepada keseluruhan tim dalam database. Untuk mencari posisi yang aman, maka saat diberikan kepercayaan tadi, ia dengan cepat akan menolaknya dengan berbagai alasan, yang penting ia tidak terlibat tanggung jawab tersebut, ya karena memang ia tidak bisa. Ia membohongi semua orang di tim proyek tersebut dengan memperlihatkan nilai A pada mata kuliah Databasenya. Lalu, apakah anda masih berpikir ini hanya berakibat kepada si mahasiswa yang mencontek dan mendapatkan nilai A tersebut?
Contoh lain, jika ternyata temannya yang sama-sama 'berpemahaman C' mengetahui bahwa temannya itu bisa mendapatkan nilai A hanya dengan mencontek, mengapa tidak? Dus, jadilah sekelompok orang yang 'berpemahaman C' yang secara beruntung mendapatkan nilai A. Dan sekarang sudah ada 3 atau 4 orang yang seperti itu. Besok mungkin sudah ada 8 atau 10 orang. Besoknya lagi jadi 10, 20 dan terakhir jadi hampir satu kelas, sehingga tersisa mahasiswa yang benar-benar belajar. Nah, masihkan anda bisa mengatakan "kan yang nyontek saya"? Ayolah kawan, anda terlalu mengada-ngada.
Jika di antara mereka yang tersisa ada mahasiswa yang sudah mati-matian belajar namun hanya mendapatkan nilai B, maka bisa dipastikan kemungkinan besar ia tentu akan tertarik mendaftar ke dunia percontekkan, toh hanya dengan mencontek ia bisa mendapatkan nilai yang lebih bagus, yaitu A. Nah, sekarang yang tersisa hanya mahasiswa yang benar-benar mendapatkan nilai A. Coba pikir, apakah mereka tidak tertarik dengan godaan 'nyontek'? Sudahlah, lama-lama mereka juga akan berpikir "buat apa mati-matian belajar klo toh dengan menyontek bisa mendapatkan nilai A juga?". Alhasil siapa lagi yang bertahan? Nah, sudahkah anda memahami bahwa pengaruh buruk itu bukan hanya kepada anda saja, tetapi ke banyak orang yang ada disekitar anda.

Ini bukan kuliah, ini kehidupan nyata!
Ini tidak hanya berbicara tentang dunia kuliah, lebih dari itu, contoh di atas hanyalah sebuah ilustrasi sederhana yang saya harapkan dapat kita pahami.
Tidak berbeda jauh dengan apa yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai manusia tentu kita memiliki 'Buku Panduan' yang selalu saya katakan pada beberapa artikel sebelum ini.
Sejatinya 'Buku Paduan' itu merupakan peta bagi kita untuk mencari jalan kehidupan yang tepat dan baik. Disana ditunjukkan mana saja jalan yang boleh dilalui, mana saya yang tidak boleh dilalui. Disana juga diberikan strategi dan tips jitu untuk memecahkan masalah yang terjadi saat dalam perjalanan.
Seseorang diharuskan untuk mempelajari 'Buku Panduan' tersebut agar tidak tersesat saat menjalani kehidupan. Sehingga seseorang  yang mampu mempelajari dan memahami 'Buku Panduan' dengan baik, dan menerapkannya dengan baik pula, seharusnya akan mendapatkan hasil yang baik pula di dalam kehidupannya.
Tapi apa yang akan terjadi jika seseorang 'mencontek' orang lain? Jika ada si M sedang bersedekah kepada kaum miskin, maka si N juga akan bersedekah kepada kaum miskin, maka di mata manusia si M dan si N akan sama dipandang sebagai orang yang telah berbuat kebaikan atau bisa dibilang mendapat nilai A(bagus) dalam kehidupan. Apakah si N memiliki pemahaman tentang bersedekah yang sama dengan pengalaman bersedekah si M? Belum tentu.
Contoh lainnya dalam beribadah, si M  belajar dengan seorang guru ahli ibadah. Tidak ada jaminan bahwa ibadah si M akan sama atau lebih baik dari ibadah gurunya.
Saya teringat khutbah jum'at beberapa minggu yang lalu, sang khatib mengatakan bahwa, bagaimanapun seorang Abu Sangkan memberikan pelatihan shalat khusuk, tetap saja tidak menjamin bahwa orang yang ikut pelatihan itu akan mendapatkan shalat yang khusuk. Belum ada satu metode pun yang bisa mentransfer ilmu seseorang kepada orang lain secara lengkap dan sama persis. Karena, bagaimanapun kita belajar dari orang lain, tetap saja pengalaman pribadinya tersebut yang menentukan seberapa mengerti ia dengan ilmu yang didapatkannya dari orang lain. Seberapa pun sering seseorang ikut pelatihan shalat khusus kepada Abu Sangkan, tetap saja pengalaman spiritualnya yang menentukan seberapa mengerti ia dengan pelatihan tersebut. Dan pengalaman itu sulit untuk bisa dibagi kepada orang lain sehingga orang tersebut memahami betul pengalaman tersebut.
Untuk itu dalam mempelajari sebuah ilmu, seseorang perlu memahami konsep ilmu tersebut dan mempraktekkannya dalam kehidupannya. Hal ini dilakukan dalam rangka menciptakan pengalamannya sendiri sehingga ilmu itu menjadi lengkap terserap olehnya.
Kenyataan yang sering terjadi dilingkungan kita adalah gaya 'mencontek' tadi. Orang lain beribadah, maka ia ikut-ikutan beribadah. Orang membaca 'Amin', dia juga tidak mau ketinggalan menbaca 'Amin'. Orang bilang 'Insya Allah', dia juga bilang 'Insya Allah'. Orang mengenakan baju gamis, dia ikutan mengenakan baju gamis.
Inilah yang saya maksudkan dengan 'mencontek' di dalam kehidupan untuk mendapatkan nilai 'A' dimata orang lain.
Tidaklah salah jika seseorang ingin mengikuti cara orang lain, namun setiap individu perlu melakukan evaluasi, pemahaman, dan mengerti maksud dan tujuan seseorang melakukan sesuatu. Sehingga dalam mendapatkan ilmu, kita dapat terhindar dari ilmu yang tidak memiliki landasan yang kuat.
Maka tidak diragukan lagi kita dituntut untuk berpikir agar dapat menilai suatu ilmu itu benar atau salah. Kita harus menganalisa apakah hal yang disampaikan oleh orang lain adalah hal yang benar dan bermanfaat, bukan hal yang salah atau merusak. 

No comments: