Bismillaahirrahmaanirrahiim...
Ini tentang
kebaikan, kebohongan terhadap kebaikan.
Saya teringat sebuah
catatan seseorang mahasiswi tentang dunia percontekkan. Dari pengalamannya
sendiri mencoba menganalisa beberapa fenomena dan mengekstraknya menjadi sebuah
kesimpulan bahwa mencontek merupakan kebohongan terhadap diri sendiri.
Seorang mahasiswa
yang memiliki nilai A pada mata kuliah Database seharusnya memiliki pengetahuan
dan pemahaman yang lebih baik tentang konsep database - kita asumsikan dosen
yang mengajarkan memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memberikan materi dan
pemahaman - dari pada mahasiswa lain yang memiliki nilai C atau bahkan D,
benarkan?
Tapi apa yang
terjadi jika ternyata nilai A itu didapat dari hasil mencontek? Tentu
pengetahuan dan pemahamannya tentang Database tidak sebaik yang seharusnya.
Bisa jadi pemahamannya sama dengan mahasiswa yang memiliki nilai C atau bahkan
D. Bisa dibilang ia hanyalah mahasiswa dengan nilai A yang memiliki pemahaman
C. Inilah sebuah kebohongan yang mungkin dimaksud dalam catatan mahasiswi
tersebut.
Yang diuntungkan
adalah si mahasiswa yang mencontek dan mendapatkan nilai A. Lalu jika si
mahasiswa berkata, "suka-suka saya dunk, kan yang nyontek saya, ngapain
pulak ente yang sibuk?". Maka saya harus meyakinkan anda bahwa hal ini
tidak hanya berakibat kepada si mahasiswa saja, tetapi juga berakibat kepada
banyak pihak.
Sebagai contoh, jika
suatu saat ia dipercaya mengerjakan perancangan database untuk suatu proyek
"Sistem Informasi Kependudukan", maka anda akan dapat membayangkan
betapa buruk hasil perancangan databasenya. Dan itu akan sangat berpengaruh
kepada keseluruhan tim dalam database. Untuk mencari posisi yang aman, maka
saat diberikan kepercayaan tadi, ia dengan cepat akan menolaknya dengan
berbagai alasan, yang penting ia tidak terlibat tanggung jawab tersebut, ya
karena memang ia tidak bisa. Ia membohongi semua orang di tim proyek tersebut
dengan memperlihatkan nilai A pada mata kuliah Databasenya. Lalu, apakah anda
masih berpikir ini hanya berakibat kepada si mahasiswa yang mencontek dan
mendapatkan nilai A tersebut?
Contoh lain, jika
ternyata temannya yang sama-sama 'berpemahaman C' mengetahui bahwa temannya itu
bisa mendapatkan nilai A hanya dengan mencontek, mengapa tidak? Dus, jadilah
sekelompok orang yang 'berpemahaman C' yang secara beruntung mendapatkan nilai A.
Dan sekarang sudah ada 3 atau 4 orang yang seperti itu. Besok mungkin sudah ada
8 atau 10 orang. Besoknya lagi jadi 10, 20 dan terakhir jadi hampir satu kelas,
sehingga tersisa mahasiswa yang benar-benar belajar. Nah, masihkan anda bisa
mengatakan "kan yang nyontek saya"? Ayolah kawan, anda terlalu
mengada-ngada.
Jika di antara
mereka yang tersisa ada mahasiswa yang sudah mati-matian belajar namun hanya
mendapatkan nilai B, maka bisa dipastikan kemungkinan besar ia tentu akan
tertarik mendaftar ke dunia percontekkan, toh hanya dengan mencontek ia bisa
mendapatkan nilai yang lebih bagus, yaitu A. Nah, sekarang yang tersisa hanya
mahasiswa yang benar-benar mendapatkan nilai A. Coba pikir, apakah mereka tidak
tertarik dengan godaan 'nyontek'? Sudahlah, lama-lama mereka juga akan berpikir
"buat apa mati-matian belajar klo toh dengan menyontek bisa mendapatkan
nilai A juga?". Alhasil siapa lagi yang bertahan? Nah, sudahkah anda
memahami bahwa pengaruh buruk itu bukan hanya kepada anda saja, tetapi ke
banyak orang yang ada disekitar anda.
Ini bukan kuliah, ini kehidupan nyata!
Ini tidak hanya
berbicara tentang dunia kuliah, lebih dari itu, contoh di atas hanyalah sebuah
ilustrasi sederhana yang saya harapkan dapat kita pahami.
Tidak berbeda jauh
dengan apa yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai manusia tentu
kita memiliki 'Buku Panduan' yang selalu saya katakan pada beberapa artikel
sebelum ini.
Sejatinya 'Buku
Paduan' itu merupakan peta bagi kita untuk mencari jalan kehidupan yang tepat
dan baik. Disana ditunjukkan mana saja jalan yang boleh dilalui, mana saya yang
tidak boleh dilalui. Disana juga diberikan strategi dan tips jitu untuk
memecahkan masalah yang terjadi saat dalam perjalanan.
Seseorang diharuskan
untuk mempelajari 'Buku Panduan' tersebut agar tidak tersesat saat menjalani
kehidupan. Sehingga seseorang yang mampu
mempelajari dan memahami 'Buku Panduan' dengan baik, dan menerapkannya dengan
baik pula, seharusnya akan mendapatkan hasil yang baik pula di dalam
kehidupannya.
Tapi apa yang akan
terjadi jika seseorang 'mencontek' orang lain? Jika ada si M sedang bersedekah
kepada kaum miskin, maka si N juga akan bersedekah kepada kaum miskin, maka di
mata manusia si M dan si N akan sama dipandang sebagai orang yang telah berbuat
kebaikan atau bisa dibilang mendapat nilai A(bagus) dalam kehidupan. Apakah si
N memiliki pemahaman tentang bersedekah yang sama dengan pengalaman bersedekah
si M? Belum tentu.
Contoh lainnya dalam
beribadah, si M belajar dengan seorang
guru ahli ibadah. Tidak ada jaminan bahwa ibadah si M akan sama atau lebih baik
dari ibadah gurunya.
Saya teringat
khutbah jum'at beberapa minggu yang lalu, sang khatib mengatakan bahwa,
bagaimanapun seorang Abu Sangkan memberikan pelatihan shalat khusuk, tetap saja
tidak menjamin bahwa orang yang ikut pelatihan itu akan mendapatkan shalat yang
khusuk. Belum ada satu metode pun yang bisa mentransfer ilmu seseorang kepada
orang lain secara lengkap dan sama persis. Karena, bagaimanapun kita belajar
dari orang lain, tetap saja pengalaman pribadinya tersebut yang menentukan
seberapa mengerti ia dengan ilmu yang didapatkannya dari orang lain. Seberapa
pun sering seseorang ikut pelatihan shalat khusus kepada Abu Sangkan, tetap
saja pengalaman spiritualnya yang menentukan seberapa mengerti ia dengan
pelatihan tersebut. Dan pengalaman itu sulit untuk bisa dibagi kepada orang
lain sehingga orang tersebut memahami betul pengalaman tersebut.
Untuk itu dalam
mempelajari sebuah ilmu, seseorang perlu memahami konsep ilmu tersebut dan
mempraktekkannya dalam kehidupannya. Hal ini dilakukan dalam rangka menciptakan
pengalamannya sendiri sehingga ilmu itu menjadi lengkap terserap olehnya.
Kenyataan yang
sering terjadi dilingkungan kita adalah gaya 'mencontek' tadi. Orang lain
beribadah, maka ia ikut-ikutan beribadah. Orang membaca 'Amin', dia juga tidak
mau ketinggalan menbaca 'Amin'. Orang bilang 'Insya Allah', dia juga bilang
'Insya Allah'. Orang mengenakan baju gamis, dia ikutan mengenakan baju gamis.
Inilah yang saya
maksudkan dengan 'mencontek' di dalam kehidupan untuk mendapatkan nilai 'A'
dimata orang lain.
Tidaklah salah jika
seseorang ingin mengikuti cara orang lain, namun setiap individu perlu
melakukan evaluasi, pemahaman, dan mengerti maksud dan tujuan seseorang
melakukan sesuatu. Sehingga dalam mendapatkan ilmu, kita dapat terhindar dari
ilmu yang tidak memiliki landasan yang kuat.
Maka tidak diragukan
lagi kita dituntut untuk berpikir agar dapat menilai suatu ilmu itu benar atau
salah. Kita harus menganalisa apakah hal yang disampaikan oleh orang lain
adalah hal yang benar dan bermanfaat, bukan hal yang salah atau merusak.
No comments:
Post a Comment