17 November 2011

Ini tentang kebaikan (bagian 1)


Bismillahirrahmaanirrahiim...

Ini tentang berbuat baik, ini tentang bagaimana kita melihat berbagai perspektif (sudut pandang) tentang berbuat baik. Ini sebenarnya bagaimana bersikap saat kita melakukan suatu perbuatan baik. Ini juga bagaimana kita menilai seberapa baik perbuatan baik yang kita perbuat. Ini menjelaskan bahwa sesungguhnya ada perbedaan prinsip antara bagaimana kita memahami sesuatu dan bagaimana kita berbuat sesuatu.

Sejak dari kecil kita dididik oleh orang tua dan juga guru-guru kita untuk selalu berbuat baik kepada sesama. Saling tolong menolong antar sesama. Membantu orang-orang yang membutuhkan. Kita jangan munafik, semua itu telah kita terima saat mengenyam bangku pendidikan, bahkan sebelum itu. Materi itupun juga ada dalam kitab-kitab berbagai agama.

Lalu, apa yang kita lihat saat ini?? Ini semua seperti sebuah siklus 'kutukan' yang hanya memiliki satu jalan. Tak ubahnya seperti sandiwara yang diperankan oleh pemeran yang hanya mengikuti skrip yang telah dibuat. Ini seperti sebuah perulangan yang itu-itu saja dari generasi ke generasi. Bagaimanapun kita diberikan segala hal tentang kebaikan, hal itu hanya tersimpan menjadi tumpukan kata-kata indah yang akan disampaikan kepada generasi selanjutnya untuk disimpan lagi menjadi tumpukan kata-kata indah.

Sebagai perumpamaan, dari kecil guru kita selalu mengatakan "Jika ingin pintar, rajin-rajinlah belajar", Ok. Lalu apa yang kita lakukan?? Apa bisa kita memenuhinya?? Bisa??

Apa benar jika rajin belajar akan pintar?? Pintar seperti apa? Untuk apa pintar? Untuk nilai yang bagus atau apa?

Jika ditanya kepada siapa saja, jawabannya pasti bisa. Tapi ingat, kata 'bisa' itu belum menjamin kita akan pintar. Dan itu hanya sekedar jawaban, no more no less. Karena pasti tidak 100% mereka yang rajin belajar akan pintar. Tak sedikit mereka yang memperoleh nilai bagus tanpa belajar yang rajin. Bahkan tanpa belajar sama sekali (baca: sangat minim).

Seiring perjalanan hidup kita, mulailah kita mengenal namanya kecurangan. Mulai kita mengenal adanya jalan 'instant'. Mulai kita mengenal jalur 'express'. Berpatokan dengan itu muncul keingintahuan terhadap hal tersebut. Semakin lama timbul hasrat untuk mencobanya, sehingga kita nyaman pada 'kecurangan' tersebut. Akhirnya kita mulai menyusun alasan-alasan yang tepat untuk membenarkan 'kecurangan' yang dilakukan.

Lalu apa yang kita katakan pada anak kita kelak?

"Anakku, jika kamu ingin pintar, rajin-rajinlah belajar, jangan menyontek".

Jujur saja, hampir bisa ditebak pasti kata-kata di atas yang akan kita katakan pada mereka. Tapi mengapa?? Apa alasan-alasan pembenaran tentang 'kecurangan' kita tidak cukup tepat untuk menyuruh anak kita agar berbuat curang sajalah?

Ini sungguh sebuah dilema yang telah biasa kita alami, baik secara sadar atau tidak. Di satu sisi kita menginginkan hasil yang bagus, walaupun harus dilakukan dengan kecurangan. Di sisi lain kita ingin hal ini tidak terjadi pada generasi kita kelak. Kita menginginkan perbaikan terjadi pada generasi selanjutnya, kita ingin menebus dosa-dosa kita terdahulu dengan memperbaiki generasi mendatang. Tapi sekali lagi, coba pikirkan! Ternyata apa yang kita inginkan itu, adalah hal yang sama seperti yang diinginkan oleh generasi sebelum kita, juga sebelum itu, sebelum itu, dan jauh sebelum itu.

Inilah yang kita sebut perulangan yang itu-itu saja dari generasi ke generasi.

Lalu apakah tidak ada orang-orang yang mencoba menempuh jalur yang lain. Jalur yang baik tanpa kecurangan? Ada, tidak banyak, tapi ada. Lalu dari sedikit itu apakah semuanya berakhir dengan baik? Mungkin tidak semuanya.

Nah, dari penjelasan di atas tergambar bahwa memilih jalan yang baik dengan berbuat baik tidaklah semudah "Jika ingin pintar, rajin-rajinlah belajar". Otak kita mampu menilai jalur mana yang lebih mudah ditempuh untuk mendapatkan hasil yang bagus, dan atas dasar itulah kadang-kadang kecurangan menjadi benar.

No comments: