Bismillaahirrahmaanirrahiim...
Ini tentang
kebaikan, tentang ujian kebaikan. Inilah yang akan membedakan antara topeng
kebaikan dengan kebaikan yang sesungguhnya. Ini akan menunjukkan kepada kita
semua bahwa kebaikan itu bukanlah sesuatu yang bisa dipalsukan, karena itu akan
terlihat jelas pada saatnya nanti.
Jujur, untuk
pembahasan kali ini saya agak kewalahan ingin memulai menjelaskannya kepada
anda. Banyak hal-hal lain yang harus saya pertimbangankan agar bisa membuat
kalimat yang pas dan tidak 'mengganggu' orang lain. Saya berpikiran pembahasan
kali ini justru akan banyak menyinggung orang lain, karena memang tidak biasa.
Saya bahkan telah menghapus tiga kali paragraf yang telah saya tulis sebelum
paragraf ini saya tulis. Sebagai permulaan, saya berharap bisa membuat kalimat
yang lebih tepat. Insya Allah.
Dari artikel-artikel
saya sebelumnya, tergambar bahwa terdapat perjuangan yang harus ditempuh oleh
seseorang untuk mencari kebenaran. Banyak dari mereka yang menemukan pilihan
hidup menuju Tuhan nya. Akan tetapi banyak juga di antara mereka yang tersesat
dari awal perjuangannya.
Saya banyak membaca
"seorang gharim masjid mencuri ini itu", atau "seorang guru
ngaji berbuat tidak sepatutnya kepada santrinya", na'udzubillahiminzalik.
Kawan, kita tidak
bisa menyangkal hal ini. Memang benar ini adalah aib, tapi sebaiknya ini
menjadi bahan renungan kita bersama. Seorang guru ngaji yang notabenenya adalah
orang yang paham agama. Sudah seharusnya memberikan contoh yang baik kepada
santri-santrinya bagaimana berbuat kebaikan. Bukan menjadi dalang dalam berbuat
kejahatan.
Saya berpikir bahwa
agamanya tidak mendatangkan manfaat baginya. Atau, ibadahnya tidak berpengaruh
apa-apa kepadanya. Bukankah kita tahu bahwa "Shalat itu mencegah kepada
kemungkaran" ?
Jika memang shalat
itu mencegah kepada kemungkaran, maka bisa dipastikan bahwa guru ngaji itu
tidak shalat. Bukankah begitu? Jika ia ternyata rajin shalat, maka bisa
dipastikan shalat hanya formalitas kepada Tuhan nya. Atau bisa jadi ia
seolah-olah sedang shalat, tetapi sejatinya ia hanya tegak, bungkuk, duduk
sambil mulut komat-kamit, gak kurang, gak lebih.
Saya pernah di tag
sebuah note dari sahabat saya yang menjelaskan mengapa kita perlu membaca Al
Qur'an walaupun kita tidak mengerti artinya atau maknanya. Tulisan tersebut
sangat bagus, namun saya khawatir sebagian orang malah menjadikan itu alasan
bahwa "ya sudahlah, klo gak ngerti gak apa-apalah, yang penting
baca". Saya khawatir sebagian orang akan berhenti memahami maknanya, ya
mungkin hanya sebagian orang.
Bahkan saya pernah
mendengar seorang ustadz murtad, pindah ke agama lain dengan alasan "saya
telah sering berdoa agar diberikan rezeki, namun saya tetap tidak dilimpahkan
rejeki, sewaktu saya pindah agama lain, saya langsung banyak rezeki".
Sungguh ironis
memang. Jika kita kembali ke pembahasan sebelumnya tentang "Buku
Panduan", hal ini tentu bertentangan dengan penjelasan saya tersebut.
Bahwa "Buku Panduan" manusia itu menuntun kepada kebaikan.
Sejujurnya kita
manusia tidak bisa disamakan dengan produk printer Conan (lihat kembali artikel
bagian 3). Buku manual pada printer tersebut memang tepat menuntut kepada arah
penggunaan yang baik dan maksimal. Namun berbeda jika sudah dibawa ke manusia. Karena
manusia memiliki keinginan, dan "Buku Panduan" itu digunakan oleh
manusia itu sendiri, untuk dirinya sendiri.
Dalam perjalanan
hidupnya, manusia dibekali "Buku Panduan" memang untuk menuntun
kepada manusia yang baik. Akan tetapi, tujuan yang lebih besar lagi adalah,
manusia dibekali "Buku Panduan" agar bisa berjalan dengan baik
menapaki kehidupan yang penuh dengan permasalahan, sehingga bisa sampai kepada
suatu tujuan yang mutlak menjadi tujuannya itu. Tujuan mutlak itu memang telah
ditetapkan oleh pencipta manusia itu sendiri. Selama perjalanannya itu manusia
akan menemui berbagai rintangan yang harus diselesaikan dan disikapi dengan
cara-cara tertentu. Dan solusi pemecahan masalah tersebut telah ada di
"Buku Panduan" manusia itu. Manusia hanya perlu membaca dan memahami
"Buku Panduan" tersebut.
Sekali lagi perlu
ditekankan bahwa dalam beragama harus memiliki "Konsep" dan
"Implementasi". Kita tentu tahu bahwa implementasi tanpa konsep sama
dengan ngawur. Begitu juga konsep tanpa implementasi sama dengan dongeng.
Itulah mungkin yang
dialami oleh seorang guru ngaji yang mampu berbuat tidak patut kepada para
santrinya. Dia sangat tahu konsep agamanya, namun pada penerapannya
(implementasi) tidak dilakukan dengan cara yang benar. Konsep yang ia ketahui
tidak ia pahami, tidak dihayati dalam jiwanya. Dan mungkin itu juga yang
dialami oleh ustadz yang murtadz. Wallahu'alam. Saya juga gk bisa memvonis
terhadap hal ini.
Anggap saja hal itu
benar. Lalu apa?
Dari sini sebagian
orang akan berpikir bagaimana caranya memahami konsep dan implementasi dengan
benar. Orang-orang akan sibuk untuk mencari langkah-langkah yang benar dari
berbagai sumber. Mencoba mengubah perilaku dan sifat-sifat mereka, mengubah
cara bicara atau apalah namanya untuk dapat memahami konsep yang benar dan
mengimplementasikannya dengan tepat. Banyak dari mereka mengikuti
seminar-seminar, pengajian-pengajian untuk mencari hal itu.
Saya menilai ini
merupakan sesuatu yang terburu-buru. Jika saya ada disana, saya akan menyuruh
anda untuk berhentilah sejenak. Berhenti.
Ada hal kecil yang
sering kita lupakan dalam teori "konsep" dan
"implementasi". Seperti sebuah mata kuliah pemrograman komputer.
Dalam mata kuliah tersebut setiap mahasiswa diajarkan konsep dan diberikan
praktek (implementasi). Mahasiswa dituntut untuk memahami konsep dengan benar,
selanjutnya mempraktekkan konsep-konsep tersebut dalam bentuk nyata. Tujuan
mempraktekkan itu agar mahasiswa mengalami langsung hasil dari konsep yang
dipelajarinya pada mata kuliah tersebut.
Apa yang saya
ceritakan pada paragraf di atas merupakan kondisi ideal yang seharusnya
terjadi. Tapi apa yang terjadi sebeanarnya? Tetap saja sebagian besar mahasiswa
tidak mau mendengarkan konsep yang dijelaskan oleh dosennya, sebagai akibatnya
adalah ia tidak mengetahui seperti apa mempraktekkannya. Atau, sebagian
mahasiswa mulai berpikir "jangan terlalu serius belajarnya, toh besok
sewaktu bekerja nggak akan ditanyakan kok". Atau "sudahlah, nggak
perlu repot-repot belajarnya, kita tinggal nyontek saja, yang penting
nilainya". Para mahasiswa sibuk menganggap remeh, dan mempertanyakan
kepada orang lain "buat apa serius mempelajari ini itu? Toh ujung-ujungnya
adalah nilai". Yang ada dalam pemikiran para mahasiswa tersebut hanya
pertanyaan seperti itu saja. Mereka mempertanyakan kepada orang-orang sekitar
mereka, bahkan ke dosen mereka, "mengapa kita harus belajar itu?".
Disanalah letak
kekurangan yang saya maksud. Mengapa mahasiswa tidak bertanya saja kepada diri
mereka sendiri, "untuk apa saya belajar ini?", atau "apa yang
mau saya ambil dari pelajaran ini?". Apa yang mereka inginkan? Ilmukah,
atau nilaikah? Dalam hal ini tentu mahasiswa akan memilih kedua-duanya, karena
sebaik-baiknya dosen yang memberi nilai, tetap saja hasil penilaiannya tidak
pernah memuaskan semua mahasiswanya. Benarkah?
Tapi dalam kehidupan
ini, yang menilai kita bukanlah dosen yang notabenenya manusia biasa. Yang
menilai kita adalah Tuhan. Yang hasil penilaiannya sangat akurat, dan sudah
pasti akan memuaskan setiap manusia. Nah, mengapa dalam beragama, sebelum
memahami konsep dan implementasi, manusia tidak bertanya kepada dirinya sendiri
untuk apa dia beragama, untuk Tuhannya ataukan untuk dirinya?
Kawan, itulah
mengapa saya menyuruh anda untuk berhenti sejenak. Coba renungkan untuk apa
anda beragama. Jika anda hanya ingin terlihat rajin beribadah, dengan pakaian
gamis yang serba putih, hafal doa-doa dan ayat-ayat, dan sibuk tunggak-tunggik
di rumah ibadah agar semua orang bisa melihat anda, maka cobalah berhenti
sejenak. Jangan terburu-buru, lalu tanyakan diri anda.
Maaf, atas segala
kekurangan. Hanya kepada Allah lah saya berserah diri. Berharap
kesalahan-kesalahan saya dijadikan pelajaran bagi orang lain.
No comments:
Post a Comment