19 November 2011

Ini tentang kebaikan (bagian 5)


Bismillaahirrahmaanirrahiim...
Ini tentang kebaikan, tentang ujian kebaikan. Inilah yang akan membedakan antara topeng kebaikan dengan kebaikan yang sesungguhnya. Ini akan menunjukkan kepada kita semua bahwa kebaikan itu bukanlah sesuatu yang bisa dipalsukan, karena itu akan terlihat jelas pada saatnya nanti.
Jujur, untuk pembahasan kali ini saya agak kewalahan ingin memulai menjelaskannya kepada anda. Banyak hal-hal lain yang harus saya pertimbangankan agar bisa membuat kalimat yang pas dan tidak 'mengganggu' orang lain. Saya berpikiran pembahasan kali ini justru akan banyak menyinggung orang lain, karena memang tidak biasa. Saya bahkan telah menghapus tiga kali paragraf yang telah saya tulis sebelum paragraf ini saya tulis. Sebagai permulaan, saya berharap bisa membuat kalimat yang lebih tepat. Insya Allah.
Dari artikel-artikel saya sebelumnya, tergambar bahwa terdapat perjuangan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mencari kebenaran. Banyak dari mereka yang menemukan pilihan hidup menuju Tuhan nya. Akan tetapi banyak juga di antara mereka yang tersesat dari awal perjuangannya.
Saya banyak membaca "seorang gharim masjid mencuri ini itu", atau "seorang guru ngaji berbuat tidak sepatutnya kepada santrinya", na'udzubillahiminzalik.
Kawan, kita tidak bisa menyangkal hal ini. Memang benar ini adalah aib, tapi sebaiknya ini menjadi bahan renungan kita bersama. Seorang guru ngaji yang notabenenya adalah orang yang paham agama. Sudah seharusnya memberikan contoh yang baik kepada santri-santrinya bagaimana berbuat kebaikan. Bukan menjadi dalang dalam berbuat kejahatan.
Saya berpikir bahwa agamanya tidak mendatangkan manfaat baginya. Atau, ibadahnya tidak berpengaruh apa-apa kepadanya. Bukankah kita tahu bahwa "Shalat itu mencegah kepada kemungkaran" ?
Jika memang shalat itu mencegah kepada kemungkaran, maka bisa dipastikan bahwa guru ngaji itu tidak shalat. Bukankah begitu? Jika ia ternyata rajin shalat, maka bisa dipastikan shalat hanya formalitas kepada Tuhan nya. Atau bisa jadi ia seolah-olah sedang shalat, tetapi sejatinya ia hanya tegak, bungkuk, duduk sambil mulut komat-kamit, gak kurang, gak lebih.
Saya pernah di tag sebuah note dari sahabat saya yang menjelaskan mengapa kita perlu membaca Al Qur'an walaupun kita tidak mengerti artinya atau maknanya. Tulisan tersebut sangat bagus, namun saya khawatir sebagian orang malah menjadikan itu alasan bahwa "ya sudahlah, klo gak ngerti gak apa-apalah, yang penting baca". Saya khawatir sebagian orang akan berhenti memahami maknanya, ya mungkin hanya sebagian orang.
Bahkan saya pernah mendengar seorang ustadz murtad, pindah ke agama lain dengan alasan "saya telah sering berdoa agar diberikan rezeki, namun saya tetap tidak dilimpahkan rejeki, sewaktu saya pindah agama lain, saya langsung banyak rezeki".
Sungguh ironis memang. Jika kita kembali ke pembahasan sebelumnya tentang "Buku Panduan", hal ini tentu bertentangan dengan penjelasan saya tersebut. Bahwa "Buku Panduan" manusia itu menuntun kepada kebaikan.
Sejujurnya kita manusia tidak bisa disamakan dengan produk printer Conan (lihat kembali artikel bagian 3). Buku manual pada printer tersebut memang tepat menuntut kepada arah penggunaan yang baik dan maksimal. Namun berbeda jika sudah dibawa ke manusia. Karena manusia memiliki keinginan, dan "Buku Panduan" itu digunakan oleh manusia itu sendiri, untuk dirinya sendiri.
Dalam perjalanan hidupnya, manusia dibekali "Buku Panduan" memang untuk menuntun kepada manusia yang baik. Akan tetapi, tujuan yang lebih besar lagi adalah, manusia dibekali "Buku Panduan" agar bisa berjalan dengan baik menapaki kehidupan yang penuh dengan permasalahan, sehingga bisa sampai kepada suatu tujuan yang mutlak menjadi tujuannya itu. Tujuan mutlak itu memang telah ditetapkan oleh pencipta manusia itu sendiri. Selama perjalanannya itu manusia akan menemui berbagai rintangan yang harus diselesaikan dan disikapi dengan cara-cara tertentu. Dan solusi pemecahan masalah tersebut telah ada di "Buku Panduan" manusia itu. Manusia hanya perlu membaca dan memahami "Buku Panduan" tersebut.
Sekali lagi perlu ditekankan bahwa dalam beragama harus memiliki "Konsep" dan "Implementasi". Kita tentu tahu bahwa implementasi tanpa konsep sama dengan ngawur. Begitu juga konsep tanpa implementasi sama dengan dongeng.
Itulah mungkin yang dialami oleh seorang guru ngaji yang mampu berbuat tidak patut kepada para santrinya. Dia sangat tahu konsep agamanya, namun pada penerapannya (implementasi) tidak dilakukan dengan cara yang benar. Konsep yang ia ketahui tidak ia pahami, tidak dihayati dalam jiwanya. Dan mungkin itu juga yang dialami oleh ustadz yang murtadz. Wallahu'alam. Saya juga gk bisa memvonis terhadap hal ini.
Anggap saja hal itu benar. Lalu apa?
Dari sini sebagian orang akan berpikir bagaimana caranya memahami konsep dan implementasi dengan benar. Orang-orang akan sibuk untuk mencari langkah-langkah yang benar dari berbagai sumber. Mencoba mengubah perilaku dan sifat-sifat mereka, mengubah cara bicara atau apalah namanya untuk dapat memahami konsep yang benar dan mengimplementasikannya dengan tepat. Banyak dari mereka mengikuti seminar-seminar, pengajian-pengajian untuk mencari hal itu.
Saya menilai ini merupakan sesuatu yang terburu-buru. Jika saya ada disana, saya akan menyuruh anda untuk berhentilah sejenak. Berhenti.
Ada hal kecil yang sering kita lupakan dalam teori "konsep" dan "implementasi". Seperti sebuah mata kuliah pemrograman komputer. Dalam mata kuliah tersebut setiap mahasiswa diajarkan konsep dan diberikan praktek (implementasi). Mahasiswa dituntut untuk memahami konsep dengan benar, selanjutnya mempraktekkan konsep-konsep tersebut dalam bentuk nyata. Tujuan mempraktekkan itu agar mahasiswa mengalami langsung hasil dari konsep yang dipelajarinya pada mata kuliah tersebut.
Apa yang saya ceritakan pada paragraf di atas merupakan kondisi ideal yang seharusnya terjadi. Tapi apa yang terjadi sebeanarnya? Tetap saja sebagian besar mahasiswa tidak mau mendengarkan konsep yang dijelaskan oleh dosennya, sebagai akibatnya adalah ia tidak mengetahui seperti apa mempraktekkannya. Atau, sebagian mahasiswa mulai berpikir "jangan terlalu serius belajarnya, toh besok sewaktu bekerja nggak akan ditanyakan kok". Atau "sudahlah, nggak perlu repot-repot belajarnya, kita tinggal nyontek saja, yang penting nilainya". Para mahasiswa sibuk menganggap remeh, dan mempertanyakan kepada orang lain "buat apa serius mempelajari ini itu? Toh ujung-ujungnya adalah nilai". Yang ada dalam pemikiran para mahasiswa tersebut hanya pertanyaan seperti itu saja. Mereka mempertanyakan kepada orang-orang sekitar mereka, bahkan ke dosen mereka, "mengapa kita harus belajar itu?".
Disanalah letak kekurangan yang saya maksud. Mengapa mahasiswa tidak bertanya saja kepada diri mereka sendiri, "untuk apa saya belajar ini?", atau "apa yang mau saya ambil dari pelajaran ini?". Apa yang mereka inginkan? Ilmukah, atau nilaikah? Dalam hal ini tentu mahasiswa akan memilih kedua-duanya, karena sebaik-baiknya dosen yang memberi nilai, tetap saja hasil penilaiannya tidak pernah memuaskan semua mahasiswanya. Benarkah?
Tapi dalam kehidupan ini, yang menilai kita bukanlah dosen yang notabenenya manusia biasa. Yang menilai kita adalah Tuhan. Yang hasil penilaiannya sangat akurat, dan sudah pasti akan memuaskan setiap manusia. Nah, mengapa dalam beragama, sebelum memahami konsep dan implementasi, manusia tidak bertanya kepada dirinya sendiri untuk apa dia beragama, untuk Tuhannya ataukan untuk dirinya?
Kawan, itulah mengapa saya menyuruh anda untuk berhenti sejenak. Coba renungkan untuk apa anda beragama. Jika anda hanya ingin terlihat rajin beribadah, dengan pakaian gamis yang serba putih, hafal doa-doa dan ayat-ayat, dan sibuk tunggak-tunggik di rumah ibadah agar semua orang bisa melihat anda, maka cobalah berhenti sejenak. Jangan terburu-buru, lalu tanyakan diri anda.
Maaf, atas segala kekurangan. Hanya kepada Allah lah saya berserah diri. Berharap kesalahan-kesalahan saya dijadikan pelajaran bagi orang lain. 

No comments: